Saturday, September 19, 2009

WH Memburu Buta

Di Aceh, siapa yang tidak tahu apa WH. Wilayatul Hisbah, divisi pengawas pelanggaran syariah, dulunya dibawah Dinas Syariat Islam, sekarang malah digabungkan dengan Satpol Pamong Praja. Ada-ada saja Aceh!

Banyak cerita lucu tentang WH. Salah satunya adalah kisah berburu buta mereka di wilayah Ujong Pancu pada pertengahan Ramadhan 1430H. Ntah dapat kabar dari mana, mereka nyelonong masuk tanpa izin dan "Assalamu'alaikum" kedalam perkarangan sebuah area yang tak lain saban hari-kerja saya kunjungi.

Beragam alasan "pengrebekan" pun disampaikan, ada informasi ini itu dan macam lainnya. Mereka pikir ini tempat apa, pamplet organisasi begitu besar kok tidak terbaca. Akhirnya karena tidak mendapatkan delik yang mereka sangkakan dan setelah mendapat counter-opini dari salah seorang warga setempat, mereka akhirnya kalah malu dan mundur teratur.

Wah! Sayang sekali WH kalau tidak pernah berbenah... sangat menyedihkan kalau mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak dilapangan! Tidak jelas tujuan dan maksud. Inikah potret penegak Syariah di Aceh?!

Kita perlu "Revolusi" agar Syariah Islam di Aceh menemukan wajah yang lebih bermartabat, berkeadilan, humanis dan universal. Let's see!

Sunday, September 6, 2009

Apa Macam "Investasi Hijau" ?!

Sebuah diskusi paling anyar yang saya seriusi adalah terkait "Investasi Hijau". Adalah sebuah lembaga Internasional berlabel Nasional, WWF-Indonesia yang menjadi penggagas. Diskusi ini diadakan di Hotel termegah di Banda Aceh pada 4 September 2009 yang lalu guna membahas sebuah Panduan Umum "Investasi Hijau" dibidang Perikanan dan Kelautan di NAD (baca: Aceh). Dokumen yang disusun secara serius sejak awal 2009 ini mulai berwujud meskipun masih dipertanyakan keampuhannya.

Sebuah feedback menarik datang dari Perwakilan Panglima Laot Lhok Peukan Bada Aceh Besar, Burhanuddin, lebih dikenal dengan panggilan "Keuchik Din", tinggal di Gampong Lamteungoh, yang juga baru saja saya kenal lewat seorang teman. Beliau secara eksplisit menolak "Investasi Hijau". Menurutnya itu sama saja memberikan ruang untuk memperluas penghancuran laut sekaligus menyingkirkan nelayan-nelayan kecil di Aceh. Argumentasi yang cukup memadai memang, karena "bahasa yang dipakai" dari dokumen tersebut masih memberikan pemaknaan yang tidak konkrit. Keberpihakan terhadap masyarakat pesisir dan nelayan belum tuntas dan tegas disuarakan.

Namun bukan aktifis NGO memang bila tidak dapat memberikan pernyataan-pernyataan persuasif dan progresif. Toh memang apa yang menjadi penjelasan seorang Dede Suhendra (WWF) merupakan sebuah ukuran normatif yang patut menjadi pemikiran kita bersama. Walhasil, semua memiliki kesepahaman yang kurang lebih sama bahwa Panduan ini menjadi strategis adanya.

Saya sendiri memandang bahwa, kendatipun tidak ada sesuatu yang "baru" dari dokumen ini, namun yang jelas benderang terlihat bahwa Panduan ini memberikan sebuah "cara" yang baru bagaimana kita dapat mencari jalan kompromi untuk semuak pihak. Selebihnya, saya melihat Panduan ini selayaknya harus dimaknai sebagai "Dokumen Advokasi" untuk mendorong pengelolaan pesisir dan laut Aceh secara berkeadilan dan berkelanjutan; sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari penyusunannya.

Bila begitu, lantas bagaimana kita memaknai "Investasi Hijau". Menurut hemat saya Investasi Hijau sekurang-kurangnya harus bermakna pada sebuah Investasi yang memberdayakan masyarakat-lokal sebagai pelopor dan pelaku utama dalam konservasi sumberdaya alam. Konservasi yang saya maksudkan disini adalah pengelolaan yang berkelanjutan; melindungi, merehabilitasi dan memanfaatkan. Paham lah kita itu kemana arah yang sebenarnya ingin diwujudkan !!!