Sunday, December 5, 2010

Indonesia, Kopenhagen ke Cancun, Lain di Aceh

Pertemuan dan perdebatan iklim semakin santer terdengar dan terus menyedot perhatian masyarakat dunia, tak (mau) ketinggalan Indonesia.

Setelah 'berhasil' menggelar MOP3 sekaligus COP13 yang menghasilkan 'Bali Roadmap' termasuk Bali Action Plan (BAP) di Bali Desember 2007, Indonesia semakin berambisi untuk menjadi salah satu negara di jajaran depan dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).

Entah sadar atau ingin sekalian basah, dalam jamaah COP15 yang dilaksanakan Desember 2009 di Copenhagen, SBY tak segan sesumbar bahwa Indonesia pada tahun 2020 dengan swadaya sendiri akan menurunkan sebesar 26% buangan GRK atau bahkan hingga 41% bila mendapatkan 'suntikan' asing.

Jelas bisa dikatakan pertemuan Copenhagen nyaris tidak menghasilkan apa-apa selain "Copenhagen Accord" yang terkesan dipaksakan. Selebih itu mengecewakan banyak pihak. Akan tetapi bisa dipastikan, COP15 adalah momentum emas Indonesia dengan memainkan politik 'iklim' yang paling narsis.

Sikap dan kiprah Pemerintah Indonesia era SBY yang lebih akomodatif untuk semua pihak dalam setiap pertemuan negoisasi, jelas menggambarkan cara cerdas Indonesia dalam urusan memperoleh dan mengelola dana kompensasi iklim bahkan dengan status dan model (baca: mekanisme) apapun, termasuk penghapusan hutang (debt swap).

Buah 'strategi' Indonesia dalam percaturan iklim global satu persatu berwujud. Sebut saja target politik iklim Norwegia yang mengarah untuk Indonesia. Sebesar 1 milyar USD dijanjikan dari negara monarki konstitusional tersebut untuk Indonesia. Info selengkapnya Anda bisa tanya Om Google.

Di Cancun (COP16), Indonesia semakin sesumbar. Konferensi Iklim tingkat dunia yang digelar 29 November s.d. 10 Desember 2010 lalu semakin menempatkan Indonesia sebagai negara berkembang yang paling optimis sekaligus opportunis. Optimis dalam hal bahwa di Cancun akan menghasilkan sesuatu yang signifikan, termasuk 'menekan' Amerika (US). Opportunis mengingat disela-sela pertemuan hangat tersebut Indonesia terus melakukan lobby kerjasama dengan sejumlah negara, sebut saja Jepang terkait pengelolaan limbah B3, Korea (selatan) dalam hal Adaptasi Perubahan Iklim, dan juga Swiss dengan 'bualan' REDD.

Bagaimana Aceh dengan "Aceh Green"-nya? Masih dipandang gemerlap meski kenyataannya tetap gelap. Cara canggih mencari uang, seperti ungkapan Irwandi belum berbuah. Jelas ada perbedaan nilai tawar dan kualitas antara Gubernur dan Presiden. Kalau sang Gubernur tidak pernah ikhlas bekerja sebagai layaknya seorang Keuhcik dan berfikir dan berwawasan luas seperti layaknya seorang Presiden. Maka balada "Aceh Green" benar-benar akan menjadi dongeng.

Aceh akan selalu lain memang. Tapi bisakah lain itu sesuatu yang membanggakan dan memenangkan kepentingan umum rakyat aceh, bukan untuk para kanibal ?! Sebaiknya Irwandi ataupun penerusnya kelak, harus segera ambil bijak.

Thursday, December 2, 2010

Kemerdekaan Lhok

Di Aceh kekinian, bicara lhok adalah berdiskusi seputar nelayan nanggroe dan serba-serbinya. Dari nostalgia masa lalu, 'kemunduran' hari ini dan ketidaksenyuman masa depan. Begitu banyak ulasan, namun belum menuntaskan apa-apa, seperti mungkin nasib coretan ini nantinya.

Tapi barangkali sebuah slogan atau apapun ia akan disebut tidak salah untuk diadakan. Ia diharapkan mampu merenda lagi kerja-kerja terdahulu dan kini untuk bisa tersambung ke rencana hari esok. Sebuah harapan dan tujuan untuk diperjuangkan.

Izinkan "Kemerdekaan Lhok" berkumandang.

Saleum!